Asal Usul dan Silsilah Aji Pati Pangeran Agung

Tuesday, September 20, 2016

Penggawa Tatiup: Komandan Laut Andalan Aji Jawa

         Mencari fakta sejarah terbaru dalam upaya menelusuri jejak historis masa awal kerajaan cantung bak mencari jarum dalam tumpukan jerami. Satu satunya sumber awal adalah tulisan CALM Schwaner tentang Sejarah Landschap Tanah Bumbu. Schwaner menuliskan Panggawa Tatiup (Punggawa Tatiup) dalam catatan sejarah terungkap, karena peran besarnya terhadap "perjuangan" Aji Jawa (1825-1841) (ayah dari Aji Madura (1842-1862), selanjutnya kakek Dari Aji Darma/pangeran Kusumanegara (1863-1900).Punggawa Tatiup adalah putra asli Pagatan, ia sejak kecil ikut melanglang buana dengan kelompok "bajak laut".
       Ketika Aji Jawa berjuang merebut kembali wilayah Cengal, Menunggul, Bangkalan dan Cantung, Punggawa Tatiup-lah berperan sebagai pemegang komando pasukan Aji Jawa untuk melakukan penyerangan dan pertempuran sengit ketika mengusir pendudukan tentara Kesultanan Pasir. Setelah berhasil merebut kembali wilayahnya Aji Jawa (1825-1841) selain melalui peperangan bersama Punggawa Tatiup ia juga melakukan perkawinan politik dengan Puteri Gusti Ketapi anak Gusti Muso di Cantung dan Puteri Gusti Kamil (sepupuh Aji Jawa) anak pamannya Gusti Kemir atau Pangeran Muda di Bangkalaan. Aji Jawa sebagai Raja yang dapat menyatukan kembali wilayah Cengal, Menunggul, Bangkalaan, Sampanahan, Cantung dan Batulicin. Sebagai balas jasa kepada Punggawa Tatiup, Aji Jawa memberikan tanah Menunggul kepada Punggawa Tatiup sebagai tanah apanage dan kepada Gusti Ali (Pamannya) yang masih hidup diberikan Tanah Sampanahan bersama gelar Pangeran Mangku.

Saturday, September 17, 2016

Kerajaan Cantung Abad 19

A. Kondisi Geografis

Wilayah Cantung pada Abad ke-19 merupakan distrik yang tergabung dalam daerah onderafdeeling yang dikenal dengan nama onderafdeeling van Tanah Boemboe pada tahun 1844. Adapun distrik-distrik yang tergabung dalam wilayah ini yaitu Pagatan, Kusan, Batulicin, Cantung, Bangkalaan, Sampanahan, Manunggal, Buntar Laut, Cengal dan Sebamban. Menurut Staatsblad tahun 1849 no.8, wilayah Tanah Bumbu dan daerah Kotawaringin, Sampit, Pembuang, Mendawai, Tanah Laut, Dusun Ilir, Pasir, Kutai, Berau termasuk dalam Borneo Zuid Ooster Afdeeling (Afdeeling Kalimantan Selatan dan Timur) yang beribukota di Banjarmasin.[4]

Namun sejak tahun 1898, terjadi perubahan pembagian wilayah lokal administratif, seperti yang terdapat dalam staatblad no. 178 tahun 1898. Dalam staatblad ini, wilayah Tanah Bumbu menjadi salah satu afdeeling yang bernama Afdeeling Pasir en de Tanah Boemboe dalam wilayah Residentie Borneo’s Zuid en Oosterafdeeling (Residensi Kalimantan Selatan dan Timur).[5]

Letak geografis Afdeling Tanah Bumbu berada di antara 2°52’ – 3°47’ Lintang Selatan dan 115°15’ – 116°04’ Bujur Timur. Dari catatan J.J. Hollander tahun 1864, wilayah Tanah Bumbu memiliki luas sekitar 141,5 mil persegi dengan beberapa daerah (distrik) yakni Batulicin, Cantung, Bangkalaan, Sampanahan, Manunggal dan Cengal.[6] Dari catatan tersebut belum memasukkan tambahan wilayah Pagatan dan Tanah Kusan dalam wilayah Tanah Bumbu karena kedua wilayah baru bergabung dalam Afdeeling Pasir en de Tanah Boemboe, tahun 1898. Tanah Bumbu berba-tasan dengan daerah Pasir di sebelah utara, di sebelah timur dengan Selat Makassar, berbatasan dengan Tanah Kusan di sebelah selatan, dan sebelah barat berbatasan dengan daerah Banjarmasin.[7]

Wilayah Tanah Bumbu yang berbatasan dengan Gunung Meratus memiliki sumber daya alam melimpah, yang mengandung banyak berlian yang berukuran besar. Emas juga banyak ditemukan di daerah ini. Pada wilayah pantai Tanah Bumbu terdapat dua teluk yakni Teluk Kelumpang dan Teluk Pamukan. Kemudian terdapat tujuh sungai besar di wilayah ini. Sungai tersebut, membawa endapan pasir atau banyak lumpur, yang kering pada saat air surut. Karena itu, sungai-sungai di dataran rendah diatur dan ‘diarahkan’ oleh penduduk setempat. Selain itu sungai dan anak sungai dibuatkan saluran khusus atau terusan, sehingga mudah dilalui dari segala arah. Dari sejumlah terusan tersebut, yang paling penting peranannya adalah Terusan Tanjung Batu dan Terusan Bantilan. Wilayah Tanah Bumbu pada pertengahan abad ke-19 sebagian besar ditutupi hutan lebat, hanya sebagian kecil yang dibuka oleh penduduk dengan untuk persawahan.[8] Adapun nama-nama gunung di wilayah Tanah Bumbu pada tahun 1866 sebagai berikut. 

Tabel 1. Gunung di Afdeeling Tanah Bumbu Tahun 1866

No
Nama Gunung
Daerah (Distrik)
Keterangan
1.
Gunung Melihat
-
-
2.
Gunung Kapari
Batulicin
-
3.
Gunung Satoi
Tanah Kusan
-
4.
Gunung Beratus
Cantung/Bangkalaan
-
5.
Gunung Sebetoeng
Pulau Laut
-
6.
Gunung Djambangan
Pulau Laut
-
7.
Gunung Soemalawi
Pulau Laut
-

Sumber : Diolah dari tulisan J.J. Hollander, Borneo’s Zuider en Ooster Afdeeling (Handleiding
Bij De Beoefening Der Land en Volkenkunde Van Nederlansch Oost Indie, Koninklijke
Militaire Akademie, 1864), hlm.28-29.

Jalur perhubungan di wilayah Tanah Bumbu selain dihubungkan lewat jalan darat dan melalui jalur sungai. Dari segi ukurannya, sungai sungai di wilayah ini berbeda dengan sungai di wilayah Kalimantan bagian selatan dan tengah yang berukuran besar. Umumnya sungai-sungai di Tanah Bumbu di wilayah tenggara dan timur Kalimantan, berukuran kecil. Misalnya di daerah Pasir, terdapat sungai Kendilo, kemudian di Tanah Bumbu, terdapat sungai sungai seperti Sungai Bakeranan dan sungai lainnya di wilayah Cantung, Cengal, Manunggal, Sampanahan dan Bangkalaan, Kusan, Batulicin dan Pagatan. Sungai-sungai ini mengalir di daerah perbatasan pegunungan tenggara. Arah alirannya dari barat ke arah timur, dengan pengecualian Sungai Kendilo di daerah Pasir, yang mengalir paralel dari daerah pegunungan utara dan selatan, kemudian alirannya berbelok ke arah timur dan bermuara ke Selat Makassar. Di wilayah Tanah Bumbu juga terdapat danau, seperti di daerah Kusan. Danau ini terletak sekitar dua mil dari pantai, kadang kadang dialiri sungai kecil dan menjadi air garam selama musim hujan.[9] Adapun sungai-sungai di wilayah Tanah Bumbu yang tercatat pada tahun 1866 dapat dilihat pada tabel 2.

Tabel 2. Nama-Nama Sungai di Wilayah Tanah Bumbu Tahun 1866

No
Nama Sungai
Distrik
Keterangan
1.
Bakeranan
Kusan/Pagatan
-
2.
Aib
Kusan/Pagatan
-
3.
Koeboe
Kusan/Pagatan
-
4.
Magaraja
Kusan/Pagatan
-
5.
Tjantoeng
Cantung
muara di  Teluk Cantung
6.
Soempoeng
Sampanahan
muara di Teluk Sumpung
7.
Korantji
Batulicin
-
8.
Batulicin
Batulicin
muara di Selat Laut
9.
Tanah Mejrah
Batulicin
-
10.
Koesan
Kusan
muara di Selat Laut
11.
Sakoembang
Pagatan
-

Sumber: Diolah dari data J.J.Hollander, Borneo’s Zuider en Ooster Afdeeling (Handleiding Bij De Beoefening Der Land en Volkenkunde Van Neder-lansch Oost Indie, Koninklijke Militaire Akademie,1864), hlm.28-29; Pieter Johannes Veth, Aardrijkskundig en statistisch woordenboek van Nederlandsch Indie (Amsterdam: Van Kampen, 1869), hlm.637.

Kondisi sungai-sungai di wilayah Tanah Bumbu umumnya sama dengan sungai-sungai lainnya di Kalimantan. Menurut Idwar Saleh, pada umumnya sifat-sifat sungai di Kalimantan adalah mempunyai perbedaan-perbedaan yang tinggi pada permukaan air pada sepanjang alirannya, membangun gosong-gosong pasir dan banjir serta pembentukan rawa-rawa sepanjang tebing menuju ke muara. Pantainya penuh dengan rimba kayu bakau dan pohon nipah yang kemudian disambung dengan hutan-hutan yang lebat ke pedalaman yang amat sukar dimasuki. Karena letaknya pada daerah tropis dan pada garis equator, iklimnya yang lembab dan sering turun hujan.[10]

Wilayah Kalimantan Tenggara merupakan daerah perairan yang cukup ramai bagi pelayaran aktivitas sungai sekaligus juga pelayaran laut. Perairan pantai terdapat pada daerah Tanah Laut sampai Pulau Laut. Panjang perairan garis pantai itu dimulai dari daerah Maluka sampai ke daerah Pasir. Beberapa sungai penting bermuara di sepanjang pantai itu adalah Maluka, Kurau, Tambangan, Tobanio, berada di daerah (distrik) Tanah Laut, serta Batulicin, Pagatan, dan Pasir berada di daerah (distrik) Kotabaru.[11]

Posisi wilayah Afdeeling Tanah Bumbu cukup strategis yakni terletak di pesisir, berbatasan dengan Selat Makassar dan Laut Jawa dan posisinya dekat dengan wilayah pulau Sulawesi. Kemudian kandungan alam-nya pun melimpah, menjadi penarik bagi orang orang Bugis ber-diaspora ke daerah ini. Tidak salah jika Pelras berpendapat, Borneo (Kalimantan) merupakan salah satu kawasan penting di dalam sejarah migrasi orang Bugis, sejak ratusan tahun lampau. Arus perpindahan orang-orang Bugis ke pesisir timur dan tenggara Borneo ini, menurut Jacquiline Linneton dapat dikategorikan sebagai diaspora sebagai expansion of Bugis trade.[12]

Wilayah Cantung dan Batulicin dalam kekuasaan Ratu Intan I pada tahun 1780. Daerah ini memiliki sekitar 19,6 mil persegi dan mencakup Daerah aliran sungai Cantung. Daerahnya merupakan pegunungan berbatasan dengan kawasan Pegunungan Meratus. Secara geografis Cantung terletak pada 115°50'11" – 116°06'57" Bujur Timur dan 02°42'16" – 03°06’03" Lintang Selatan. Batas-batasnya di sebelah selatan daerah Kusan dan Batulicin, yang dipisahkan oleh Sungai Serongga, di sebelah barat adalah wilayah Banjarmasin. Kemudian di sebelah utara berbatasan dengan Bangkalaan, yang dipisahkan oleh Sungai Bantilan, dan sebelah timur berbatasan dengan Pulau Laut dan Teluk Kelumpang.[13]



B. Kondisi Politik

Penguasa pertama kerajaan Batulicin dan Cantung, Ratu Intan I adalah anak kandung Ratu Mas bin Pangeran Mangu (penguasa terakhir kerajaan Tanah Bumbu). Sebelum dipecah menjadi beberapa wilayah kerajaan-kerajaan kecil. Kerajaan Tanah Bumbu didirikan oleh Pangeran Dipati Tuha (Raden Basus) putera Sultan Saidullah, Raja Banjar. Pada Tahun 1780 wilayah kerajaan Tanah Bumbu dibagikan kepada anak kandung dan anak-anak tiri Ratu Mas yaitu Pangeran Prabu dan Ratu Intan I. Pangeran Prabu memperoleh wilayah utara yang berpusat di negeri Bangkalaan, sedangkan wilayah selatan (Cantung dan Batulicin) diberikan kepada Ratu Intan I. Pada 4 Mei 1826, Sultan Adam (Raja Banjar) menyerahkan wilayah Batulicin kepada Hindia Belanda. Dalam perkembangannya, pada tahun 1860 wilayah Kerajaan Batulicin menjadi suatu wilayah pemerintahan swapraja yang dikepalai seorang bumiputera bagian dari Afdeeling Pasir en de Tanah Boemboe dalam pemerintahan kolonial Hindia Belanda di bawah kekuasaan Asisten Residen G.H. Dahmen yang berkedudukan di Samarinda.[14] Batulicin dan negeri-negeri lainnya dalam wilayah Tanah Bumbu merupakan daerah-daerah landschap dalam Afdeeling Pasir en de Tanah Boemboe menurut Staatblaad tahun 1898 no. 178.[15]

Wilayah tetangga Cantung, adalah Kerajaan Sampanahan yang dibangun oleh Pangeran Prabu atau Sultan Sepuh bin Pangeran Dipati/ Daeng Malewa pada tahun 1780 sampai tahun 1800. Daerah Sampanahan sebelum tahun 1780 adalah wilayah Kerajaan Tanah Bumbu. Daerah ini berbatasan dengan wilayah Manunggal di sebelah utara, dipisahkan oleh Sungai Tengarong. Selanjutnya, di sebelah barat berbatasan dengan Banjarmasin. Kemudian perbatasan selatan dengan teluk Kelumpang dan Bangkalaan, Lalu, di sebelah timur dengan Teluk Pamukan dan Selat Makasar (Macassar Straat). Daerah ini luasnya sekitar 2,9 mil persegi. Menurut Schwaner, daerah Bangkalaan cukup miskin karena tidak adanya sumber daya alam yang dapat dijadikan komoditas perdagangan, kecuali hanya terbentang wilayah hutan dan belukar.[16]


C. Kondisi Demografis dan Ekonomi

Menurut Schwaner, penduduk Tanah Bumbu terdiri dari suku Melayu yakni Bugis dan Banjar, dan juga suku bangsa asli yakni Dayak. Umumnya pemukim bersuku Bugis dari Sulawesi Selatan bermata pencaharian sebagai pedagang. Sementara itu, suku bangsa Banjar, ada yang berasal dari Banjarmasin kemudian dari daerah Pasir yang telah lama bermigrasi. Suku Melayu ini menempati wilayah pantai atau tepi sungai. Sementara Suku Dayak, adalah penduduk asli yang telah lama turun temurun bertempat tinggal di beberapa distrik di Tanah Bumbu. Penduduk asli ini telah bertahun-tahun tunduk kepada pemukim asing. Mereka jumlahnya sedikit yang tersebar di desa-desa kecil di pegunungan.[17] Dari laporan Survei Negara Hindia Belanda tahun 1853 dan 1854, kepadatan penduduk wilayah Tanah Bumbu sekitar 25 orang per kilometer. Wilayah ini menghasilkan komoditas rotan dan sarang burung wallet. Hasil survei ini menambahkan selain Suku Melayu, Banjar dan Bugis, terdapat juga Suku Jawa.[18]

Daerah Cantung, mengalami perkembangan dan memiliki penduduk yang dapat dikatakan padat dibandingkan daerah lainnya di Tanah Bumbu. Bentuk pemerintahan di wilayah ini sama dengan daerah lainnya di Tanah Bumbu, yakni berbentuk kerajaan. Perdagangan sebagian besar ditangani oleh pemilik tanah. Pendapatan kerajaan dikenakan pada beberapa pajak barang atas orang Dayak. Perkembangan perekonomian penduduk di daerah Cantung, cukup beragam. Misalnya dalam sistem mata pencaharian orang Dayak, setiap kebutuhan rumah tangga dipenuhi dengan hasil dari bidang pertanian. Seperti usai panen padi, hasilnya berupa pasokan beras yang jumlahnya sekitar dua puluh gantang. Semua pasokan barang ini tidak dibebaskan dari pajak. Artinya, para petani pun tetap dikenakan pajak oleh penguasa lokal di daerah ini. Untuk para pedagang, juga dikenakan pajak. Pembayaran dilakukan secara tunai atau pun dalam bentuk produk oleh kapten kapal, yang telah membawa barang-barang dari luar ke Cantung. Setiap kapal yang berangkat pun harus membayar pajak tol sebesar f 3. Khusus untuk pajak rotan, untuk setiap seratus lembar, pajaknya f 1,50. Penduduk di daerah ini biasanya mengimpor tembakau, gambir, kain linen, garam, rempah-rempah, peluru, senjata, furnitur, besi dan opium. Untuk ekspor rotan, damar, sarang burung, lilin, tikar, dan produk lainnya Di daerah Cantung juga terdapat banyak wilayah yang dibuka untuk budidaya padi dan kebun.[19] Adapun jumlah penduduk Cantung dapat diliht dalam tabel 3. 

Tabel 3. Jumlah Penduduk Cantung Tahun 1855

No
Nama
Kampung
Jumlah Rumah
Laki Laki
Perempuan
Anak
laki -Laki
Anak
Perempuan
Total
1.
Bantilan
4
10
6
4
6
26
2.
Mandoe
9
21
12
16
13
65
3.
Karang Bajau
8
26
16
15
13
70
4.
Muara Selat
12
29
19
11
17
79
5.
Buntar Laut
22
22
22
22
16
82
6.
Selat
10
10
10
22
20
62
7.
Lalabing
46
17
17
38
38
170
8.
Salapa
55
57
57
38
38
190
9.
Balintong
50
52
52
32
29
165
10.
Mandam
26
27
27
25
29
111

Jumlah

301
268
229
219
1020

Sumber: C.A.L.M. Schwaner, “Historische, Geograpische en Statistieke Aanteekeningen Betreffende Tanah Boemboe”, Tidjschrift Voor Indische Taal Land en Volken-kunde (Batavia: Lange & Co, 1853), hlm.359.

Dari data tersebut, terdapat lima kampung di daerah Cantung yang tergolong jarang penduduknya yakni Bantilan, Mandoe, Karang Bajau, Muara Selat, Buntar Laut dan Selat. Jumlah penduduknya hanya berkisar antara 20 sampai 80-an orang. Sementara daerah lain yang tergolong sedang adalah Kampung Lalabing, Salapa, Balintong dan Mandam yang penduduknya berkisar antara 100 sampai 190-an orang. Sektor perdagangan di daerah ini didominasi oleh penduduk pendatang yakni dari orang Melayu yang terdiri dari orang Banjar dan Bugis. Hal ini dimungkinkan karena sudah adanya migrasi dan hubungan perdagangan dengan pedagang dari luar daerah. Sementara itu orang Dayak, penduduk asli daerah ini pada umumnya tidak berdagang tetapi bermata pencaharian pertanian dengan lahan berpindah. [20]


D. Struktur Masyarakat dan Pemerintahan Sipil

Tanah Bumbu adalah nama kerajaan yang dibentuk tahun 1660 yang berdaulat dibawah Kerajaan Banjar. Selanjutnya 4 Mei 1826, Sultan Banjar yang berkuasa, Sultan Adam al-Watsiq Billah, menyerahkan wilayah tenggara dan timur Kalimantan beserta daerah lainnya kepada pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Sejak itulah Tanah Bumbu menjadi wilayah kekuasaan Hindia Belanda. [21] Dari catatan Schwaner, pada tahun 1844, Tanah Bumbu menjadi wilayah onderafdeeling van Tanah Boemboe dengan beberapa distrik yaitu Pagatan, Kusan, Batulicin, Cantung dengan Buntar Laut, Bangkalaan, Sampanahan, Manunggul dan Cengal. Pada waktu itu distrik Pulau Laut belum dibentuk. Terjadi perubahan pada tahun 1845, distrik Pulau Laut dan Batulicin tergabung menjadi satu distrik yaitu Tanah Kusan.[22]

Pada tahun 1848, Gubernur Jenderal Rochussen yang berkuasa di Kalimantan, membagi wilayah Kalimantan di bawah otoritas Belanda, ke dalam dua keresidenan, yaitu Westerafdeling Van Borneo dan Zuid-en Oosterafdeling Van Borneo. Wilayah Tanah Bumbu menjadi salah satu wilayah onderafdeeling yang dikenal dengan nama onderafdeeling van Tanah Boemboe pada tahun 1849 yang diatur dalam Staatsblad tahun 1849 no.8. Dalam Staatsblad ini, wilayah Tanah Bumbu dan daerah Kotawaringin, Sampit, Pembuang, Mendawai, Tanah Laut, Dusun Ilir, Pasir, Kutai, Berau termasuk dalam wilayah Borneo Zuid Ooster Afdeeling (Afdeeling Borneo Tenggara) yang beribukota di Banjarmasin.[23] Pada tahun 1853 terbentuk landskap Sebamban yang kemudian digabungkan dalam onderafdeeling van Tanah Boemboe.[24]

Tetapi setelah tahun 1898, terjadi perubahan pembagian wilayah lokal administratif kembali, seperti yang terdapat dalam staatblad no. 178 tahun 1898. Dalam staatblad ini, wilayah Tanah Bumbu menjadi salah satu afdeeling yang tergabung dalam Afdeeling Pasir en de Tanah Boemboe, dalam wilayah Residentie Borneo’s Zuid en Oosterafdeeling (Residensi Borneo Selatan dan Timur).[25] Selain Afdeeling Pasir en de Tanah Boemboe, yang tergabung dalam Residentie Borneo’s Zuid en Oosterafdeeling (Residensi Borneo Selatan dan Timur) adalah Afdeeling Bandjermasin en Ommelanden, Martapura, Kandangan, Amuntai, Doesoen Landen (Tanah-Tanah Dusun), Dajak Landen (Tanah Tanah Dajak) dan Sampit. Masing masing daerah ini pun terbagi dalam onderafdeeling dan distrik distrik.[26]

Dalam perkembangannya, tahun 1898 daerah daerah di wilayah Tanah Bumbu menjadi daerah leenplichtige landschappen dalam wilayah Afdeeling Pasir en de Tanah Boemboe. Menurut Staatblaad tahun 1898 no. 178, wilayah Afdeeling Pasir en de Tanah Boemboe, dengan ibukota Kotabaru, terdiri dari daerah-daerah leenplichtige landschappen atau daerah landschap yang langsung diperintah kepala bumiputeranya yakni daerah Pasir, Pagatan, Kusan, Cengal, Manunggal, Bangkalaan, Sampanahan, Cantung, Batulicin, Sebamban, Pulau Laut dan Pulau Sebuku.[27]

Walaupun memiliki penduduk orang Bugis, tetapi struktur pemerintahan di kerajaan kerajaan kecil lainnya di wilayah Tanah Bumbu seperti Batulicin, Cantung, Bangkalaan, Sampanahan, Manunggal dan Cengal berbeda dengan di Pagatan. Hal ini karena kedudukan Kerajaan-kerajaan tersebut secara politik berdaulat dalam wilayah kekuasaan Kesultanan Bandarmasih, sebelum diserahkan ke Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1848. Hanya karena pelayanan pemerintahan tidak terjangkau oleh pelayanan Kesultanan maka ada beberapa kerajaan-kerajaan kecil tersebut diberikan wewenang untuk mengatur pemerintahan sendiri dalam kelompok komunitasnya, kemudian juga ada yang dengan sengaja berdiri karena adanya latar belakang perebutan kekuasaan dari Kesultanan Banjar sendiri.[28]

Pada umumnya, struktur pemerintahan di wilayah lain di Tanah Bumbu yakni Kerajaan Batulicin, Cantung, Bangkalaan, Sampanahan, Manunggal dan Cengal, pada umumnya sebenarnya sama secara hierarki dengan sistem pemerintahan tidak jauh berbeda dengan struktur pemerintahan di wilayah Pagatan. Hanya berbeda dari gelar elit yang menempati posisi puncak, seperti Sultan atau Pangeran yang bergelar Aji, yang berfungsi sebagai kepala negara. Di bawah Sultan atau Pangeran (Aji), bukan Pua Adu seperti di wilayah Pagatan tetapi bergelar mangkubumi sebagai pemimpin organisasi pemerintahan.[29]

Kerajaan kerajaan kecil di wilayah Tanah Bumbu, umumnya dapat dikategorikan sebagai kerajaan maritim. Dalam kerajaan maritim ini lebih menitikberatkan pada perannya sebagai kerajaan dagang. Karena itu dalam struktur kerajaan ini, di samping keturunan, kekayaan pun merupakan faktor yang menentukan juga dalam kedudukan Raja. Raja di tengah golongan bangsawan harus mempunyai kekayaan yang cukup ababila ingin terjamin kekuasaannya. Disamping raja, menurut Noorlander terdapat Dewan Mahkota maupun Putera Mahkota dalam kerajaan, yang nantinya akan menggantikan raja.[30]

Jabatan Mangkubumi menurut M.Z.Arifin Anis, pada awalnya tidak dijabat oleh keluarga Sultan, tetapi pada perkembangan berikutnya jabatan itu harus dijabat oleh pejabat yang berasal dari keluarga dekat istana, dan jabatan-jabatan yang berada di pusat kota selalu diduduki oleh pejabat istana, sehingga bentuk birokrasi yang berlaku dikenal sebagai birokrasi patrimonial. [31]

Dalam perkembangannya pada tahun 1901, daerah landskap Tanah Bumbu diperintah oleh rajanya masing masing atau inlandsche bestuur. Dalam kurun waktu tersebut, berdasarkan Staatblad No. 329 tahun 1903 tentang decentralisatiewet, pemerintah Hindia Belanda mengatur keberadaan dan kelembagaan daerah otonom, yakni daerah yang dikuasai secara langsung oleh pemerintah Hindia Belanda. Dalam staatblad ini juga diatur pendelegasian wewenang administratif hanya untuk pemerintahan daerah yang langsung ditangani oleg orang Eropa atau Europoese Binnenlands-bestuur.[32] Pada tahun 1936 Pemerintah Hindia Belanda menunjuk controleur untuk onderafdeling Pulau Laut dan Tanah Bumbu yakni P. van Hoeve. Kemudian pada tahun 1938 van Hoeve digantikan oleh C. Nagtegaal.[33]

Perubahan kemudian terjadi pada tahun 1936, walaupun pada dasarnya masih menerapkan sistem pemerintahan sipil kolonial. Tanah Bumbu berubah status menjadi salah satu onderafdeeling yakni onderfdeeling Tanah Bumbu dan Pulau Laut, dibawah Afdeeling Banjarmasin. Selain Onderafdeeling Tanah Bumbu dan Pulau Laut, onderafdeeling lain dibawah afdeeling Banjarmasin adalah Banjarmasin, Marabahan, Martapura dan Pleihari. Onderafdeeling Tanah Bumbu dan Pulau Laut membawahi beberapa distrik yakni Pagatan, Kusan, Cengal, Manunggal, Bangkalaan, Sampanahan, Cantung, Batulicin, Sebamban, Pulau Laut dan Pulau Sebuku. Tiap Distrik dibawahi seorang civil gezaghebber atau kontrolir. Wilayah distrik dikepalai oleh seorang kiai. Dibawah distrik dibagi lagi menjadi beberapa onderdistrik yang dikepalai oleh asisten kiai. Selanjutnya dibawah onderdistrik dibagi lagi menjadi beberapa desa/kampoeng yang dikepalai oleh seorang pembekal atau pambakal.[34]


[1] Makalah disampaikan pada Lokakarya Menggali Sejarah Kerajaan Cantung Untuk Menemukenali Nilai Budaya dan Kesejarahan Kalimantan Selatan, 17 Juni 2015, Auditorium Lantai 7, Kantor Kemenko PMK, Jl. Medan Merdeka Barat No. 3 Jakarta Pusat. 

[2] Pengajar Pada Program Studi Pendidikan (PSP) Sejarah, Fakultas Keguruan & Ilmu Pendidikan (FKIP), Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin, Kaliman-tan Selatan. 

[3] Sejarawan Banjar, Pengajar Pada SMA I Paringin, Kabupaten Balangan, Kalimantan Selatan. 

[4] Pembagian wilayah Borneo ini berdasarkan “Besluit van den Minister van Staat, Gouverneur-Generaal van Nederlandsch-Indie”, pada tanggal 27 Agustus 1849 No. 8, lihat Staatsblad van Nederlandisch Indie Voor Het Jaar 1849 (Batavia: Ter Lands Drukkerij, 1849), hlm.1-2. Lihat “De Minister van Staat, Gouverneur Generaal van Nederlandsc Indie”, dalam L.J.A. Tollens, Verzameling van Wetten, Besluiten, Bepalingen, Kennisgaven, enz, Over de Jaren 1808-1856, Tweede Deel (Batavia: Lange & Co, 1856), hlm.160. Lihat juga “Het Eiland Borneo en Zijne Bewoners”, dalam J.B.J. van Dooren, Bijragen tot de Kennis van Verschillende Overzeesche Landen, Volken, enz, Eesrste Deel (Amsterdam: J.D.Sybrandi, 1860), hlm. 241. 


[5] M. Suriansyah Ideham, et.al. (ed), Sejarah Banjar (Banjarmasin: Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan, 2003), hlm.233. Lihat juga R. A.Leirissa et.al. (ed), Sejarah Sosial Daerah Kalimantan Selatan (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jarahnitra, 1983/1984), hlm.96. 

[6] J.J. Hollander, Borneo’s Zuider en Ooster Afdeling (Handleiding bij de Beoefening der Land en Volkenkunde Van Nederlansch Oost Indie, Koninklijke Militaire Akademie, 1864), hlm.143. 

[7]Pieter Johannes Veth, Aardrijkskundig en statistisch woordenboek van Nederlandsch Indie (Amsterdam: Van Kampen, 1869), hlm. 637. Wilayah Afdeeling Tanah Bumbu sejak tahun 2002 menjadi Kabupaten Tanah Bumbu, memiliki luas 5.066,96 km persegi (506.696 hektar) atau 13,50 persen dari total luas Provinsi Kalimantan Selatan, lihat BPS Kabupaten Tanah Bumbu, Tanah Bumbu Dalam Angka 2009 (Batulicin: BPS Tanah Bumbu, 2009), hlm.2 

[8]Pieter Johannes Veth, loc.cit. Beberapa flora (tumbuhan) di wilayah Tanah Bumbu terdata di dalam C.L. Blume, Bijragen tot de Flora van Nederlansch Indie (Batavia: Ter Lands Drukkerij, 1825), hlm. 1-65. 

[9] Theodore Posewitz, Borneo: Geologi and Mineral Resources (London: Edward Stanford, 1892), hlm. 136-137. Lihat juga catatan Residen Zuid en Oosterafdeeling van Borneo, J.G.A. Gallois, “Korte Aanteekeningen Gehouden Gedurende eene Reis langs de Oostkust van Borneo verrigt op last van het Nederlansch Indisch Gouvernement”, Bijdragen tot de Taal Land en Volkenkunde van Nederlandsh Indie, Vierde deel (Amsterdam: Frederik Muller, 1856), hlm. 261. 

[10] M. Idwar Saleh, Bandjarmasin, Selayang Pandang Bangkitnya Keradjaan Bandjarmasin, Posisi, Fungsi dan Artinya dalam Sedjarah Indonesia dalam Abad Ke 17 (Bandung: KPPK Balai Pendidikan Guru, 1960), hlm.25-26; M. Idwar Saleh, Banjarmasih (Banjarbaru: Museum Lambung Mangkurat, 1981/1982), hlm.7-8. 

[11] Bambang Subiyakto, “Perompakan: Sebuah Realitas Historis Abad Ke-19 di Kal-Sel” dalam Ersis W. Abbas (ed), Buku Kenangan Purna Tugas Prof. M.P. Lambut (Banjarmasin: LPKPK, & DPRD kota Banjarmasin, 2003), hlm. 93. 

[12] Jacquiline Linneton dalam Andi Zaenal Abidin, Persepsi Orang Bugis, Makasar Tentang Hukum, Negara dan Dunia Luar (Bandung: Alumni, 1983), hlm. 61. 

[13] Ibid, sekarang wilayah swapraja Cantung ini menjadi kecamatan Hampang, Kelumpang Hulu, Kabupaten Tanah Bumbu. Pemerintah Kabupaten Kotabaru, Kecamatan Hampang, Kecamatan Hampang Dalam Angka Tahun 2007/2008 (Kotabaru: Pemerintah Kabupaten Kotabaru, 2008), hlm. 1-2. 

[14] Ibid. 

[15] Willem Adriaan van Rees, op.cit, hlm.279. Lihat juga Assegaf, op.cit., hlm. 132. 

[16] Sekarang menjadi Kecamatan Sampanahan, Kabupaten Kotabaru dengan luas wilayah 488,89 km2, beribukota di Gunung Batu Besar dan terdiri atas 10 desa. Lihat Pemerintah Kabupaten Kotabaru, Kecamatan Sampanahan, Kecamatan Sampanahan Dalam Angka Tahun 2007 / 2008 (Kotabaru: Pemerintah Kabupaten Kotabaru, 2008), hlm.1-2. 

[17] Carl Anton Ludwig Maria Schwaner, op.cit, hlm. 350. 

[18] Lihat “Overzigt van den Staat en de Werkzaamheden Instituuts Gedurende het Jaar 1853/54”, Bijragen tot de Taal Land en Volkenkunde van Nederlansch Indie, Derde Deel (Batavia: Van Haren, Noman en Kolf., 1855), hlm. 221-265. 

[19]Ibid, hlm.358. 

[20] Ibid, hlm. 360. 

[21] Sebelum perjanjian tahun 1826 sudah ada perjanjian antara pemerintah Hindia Belanda dengan Kerajaan Banjar yaitu Alteratie en ampliate Op Het Contract Met Den Sulthan Van Bandjarmasin, Van 1 Januarij 1817-13 september 1823, pasal 5 menyatakan bahwa daerah Tatas, Kuin, Seluruh daerah Dayak; Mandawai, Sampit, dan Kotawaringin, dengan semua bagiannya; berikut daerah Sintang, Lawai, dan Jelai, Bakumpai, Tabanio, Pagatan, Pulau Laut, Pasir, Kutai, Berau dan seluruh bagian-bagiannya diserahkan pihak Banjarmasin kepada Pemerintahan Hindia Belanda. Lihat ANRI, “Alteratie en ampliate Op Het Contract Met Den Sulthan Van Bandjarmasin, Van 1 Januarij 1817-13 September 1823”, Arsip Surat-Surat Perjanjian Antara Kesultanan Banjarmasin Dengan Pemerintahan VOC, Bataafshe Republik, Inggris dan Hindia Belanda 1635 – 1860 (Jakarta: Arsip Nasional Republik Indonesia, 1965), hlm. 214. 

[22] Carl Anton Ludwig Maria Schwaner, op.cit, hlm. 357. 

[23] Mengenai pengaturan wilayah di afdeeling Borneo Tenggara pada tahun 1849, lihat Staatsblad van Nederlandisch Indie Voor Het Jaar 1849, op.cit., hlm. 1-2. 

[24] P.J. Veth, op.cit, hlm. 176. 

[25] M. Idwar Saleh et al, Sejarah Daerah Tematis Zaman Kebangkitan Nasional (1900-1942) di Kalimantan Selatan (Banjarmasin; Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, 1978/1979), hlm. 22. 

[26] Ibid, lihat juga M. Idwar Saleh, et.al., Sejarah Daerah Tematis, Zaman Kebangkitan Nasional (1900-1942) di Kalimantan Selatan (Jakarta: Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Pusat, 1977/1978), hlm. 9. 

[27] Lihat Alex A Koroh, Lintasan Sejarah Pemerintahan Daerah di Kalimantan Selatan 1901-1957 (Banjarbaru: Scripta Cendekia, 2009), hlm. 4-6. 

[28] ANRI, C. Nagtegaal, (Controleur), “Aanvullende Memorie van Overgave (MvO) van de Onderafdeling Poeloe Laoet en Tanah Boemboe, 1938”, koleksi MvO Serie DL. hlm. 4. 

[29] Ibid, hlm. 42. 

[30] M.Z. Arifin Anis, “Mobilitas Elit di Kerajaan Banjarmasin Pada Paruh Kedua Abad Ke-16” (Laporan Penelitian FKIP Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin, 1997), hlm. 3. 

[31] Ibid. 

[32] Asep Suryana, “Dari Decentralisatiewet 1903 ke Pemerintahan Daerah 1965: Kesinambungan dan Perubahan Otonomi Daerah di Indonesia”, Jurnal Pendidihan dan Kebudayaan, No. 055, Tahun Ke-II, Jdi 2005, hlm. 592-593. 

[33] ANRI, P. van Hoeve (controleur); “Memorie van Overgave van de onderafdeling Poeloe Laoet en Tanah Boemboe, 1936” koleksi MvO Serie DL; C. Nagtegaal, (controleur); “Aanvullende Memorie van Overgave van de onderafdeling Poeloe Laoet en Tanah Boemboe, 1938.”, koleksi MvO Serie DL. hlm. 1. 

[34] Pembagian ini berdasarkan Bijblad op het Staatblad nederlandsch Indie, Deel LXXVII Nos 14139-14310, dalam Syaharuddin, ”Organisasi Islam di Borneo Selatan 1912-1942: Awal Kesadaran Berbangsa Urang Banjar” (Tesis Pada Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2008, sudah diterbitkan), hlm. 45-46.