Dari sumber lisan penduduk Desa Bangkalaan Melayu dan
keterangan penjaga makam Pangeran Agung, Antung Saini, Pangeran Agung yang
dimakamkan di tepi Sungai Bangkalaan Melayu adalah Pangeran Agung. Pangeran
Agung hanyalah gelar, sementara nama asli-nya tidak bisa diidentifikasi oleh
penduduk Desa Bangkalaan Melayu maupun keturunannya secapa pasti. [1] Terdapat dua versi
mengenai asal usul dari Aji Pati Pangeran Agung, sebagai berikut :
1.
Pertama, dapat ditelusuri pada sumber lokal seperti “Silsilah Raja
Raja Tanah Bumbu” yang disusun oleh Hendri Nindyanto, keturunan Raja Cantung.
Dalam silsilah tersebut tertulis Aji Pati Pangeran Agung adalah putra Sultan
Sulaiman II Alamsyah (Adjie Panji), Sultan Pasir yang memerintah tahun
1799-1811. Dalam silsilah tersebut jelas tertulis nama “Adji Pati bin Sultan
Sulaiman” yang mengawini Ratu Intan 2 (Aji Tukul), putri Aji Jawa, Raja Cantung
(1825-1841). [2]
2.
Kedua, sumber lokal lainnya yang menuliskan asal usul Aji Pati
Pangeran Agung, adalah “Silsilah Raja Raja Tanah Bumbu”, yang tidak diketahui
penyusunnya, koleksi Antung Saini (penjaga makam Pangeran Agung). Dalam
silsilah ini tertulis Adji Pati Pangeran Agung adalah adik keempat raja Pasir,
suami Ratu Intan II binti Aji Jawa (Aji Doya). Apabila menganalisis sumber ini,
kemungkinan besar, Adji Pati adalah adik Sultan Ibrahim Alamsyah (Adjie
Sembilan) bin Sultan Sulaiman II Alamsyah (Adjie Panji) yang memerintah
Kerajaan Pasir tahun 1811-1816. [3]
Kedua silsilah tersebut saling melengkapi. Dengan
membanding-kannya dengan Silsilah Kerajaan Paser, yang disusun keturunan raja
Pasir, yang disusun Pangeran Adjie Benni Syarief Fiermansyah Chaliluddin, dapat
diketahui bahwa paman dari Aji Pati adalah Sultan Pasir ke 10, Sultan Dipati
Anom Alamsyah (Adjie Dipati) yang memerintah Pasir tahun 1788-1799. Adjie
Dipati mengawini Ratu Intan I binti Sultan Tamjidullah I, Raja Cantung dan
Batulicin (1780-1800). Adjie Dipati juga mengawini seorang selir yang
menurunkan empat anak yakni, Pangeran Muhammad, Andin Proah, andin Girok dan
Andin Kedot. [4]
Sultan Dipati Anom alamsyah (Adji Dipati) memerintah Pasir hingga
tahun 1799 yang kemudian digantikan saudaranya, ayah Adji Pati yakni Sulaiman II Alamsyah (Adjie Panji), Sultan
Pasir yang memerintah tahun 1799-1811. Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat
dalam daftar nama Raja/Sultan Pasir (Sadurangas) dan tahun pemerintahannya
berdasarkan silsilah Raja/Sultan Pasir yang disusun keturunan Raja Pasir,
Pangeran Adjie Benni Syarief Fiermansyah Chaliluddin, sebagai berikut.
Tabel 1. Daftar Raja/Sultan
Pasir (Sadurangas) dan Tahun Pemerintahannya
No.
|
Nama Raja / Sultan
|
Tahun
|
1.
|
Ratu Putri Petung / Putri Di
Dalam Petung
(Sri Sukma Dewi Aria Manau Deng
Giti)
|
1516 – 1567
|
2.
|
Raja Adjie Mas Patih Indra
|
1567 – 1607
|
3.
|
Raja Adjie Mas Anom Indra
|
1607 – 1644
|
4.
|
Raja Adjie Anom Singa Maulana
|
1644 – 1667
|
5.
|
Sultan Panembahan Sulaiman I
(Adjie Perdana)
|
1667 – 1680
|
6.
|
Sultan Panembahan Adam I (Adjie
Duwo)
|
1680 – 1705
|
7.
|
Sultan Adjie Muhammad Alamsyah
(Adjie Geger)
|
1703 – 1726
|
-
|
La Madukelleng (Arung Matoa
dari Wajo, Bugis, Makasar)
|
1726 – 1736
|
8.
|
Sultan Sepuh I Alamsyah (Adjie
Negara)
|
1736 – 1766
|
9.
|
Sultan Ibrahim Alam Syah (Adjie
Sembilan)
|
1766 – 1786
|
-
|
Ratu Agung
|
1786 – 1788
|
10.
|
Sultan Dipati Anom Alamsyah
(Adjie Dipati)
|
1788 – 1799
|
11.
|
Sultan
Sulaiman II Alamsyah (Adjie Panji)
|
1799 – 1811
|
12.
|
Sultan
Ibrahim Alamsyah (Adjie Sembilan)
|
1811 – 1815
|
13.
|
Sultan Mahmud Han Alamsyah
(Adjie Karang)
|
1815 – 1843
|
14.
|
Sultan Adam II Adjie Alamsyah
(Adjie Adil)
|
1843 – 1853
|
15.
|
Sultan Sepuh II Alamsyah (Adjie
Tenggara)
|
1853 – 1875
|
16.
|
Pangeran Adjie Inggu (Putra
Mahkota) putera Sultan Sepuh II Alamsyah (Adjie Tenggara)
|
1875 – 1876
|
17.
|
a).
Sultan
Abdur Rahman Alamsyah (Adjie Timur Balam) putera Sultan Adam II Adjie Alamsyah (Adjie Adil)
b).
Sultan
Muhammad Ali (Adjie Tiga) putera Sultan Mahmud Han Alamsyah (Adjie Karang)
|
1876 – 1896
1876 – 1898
|
18.
|
Kevakuman pemerintahan
kesultanan (diambil alih Pemerintah Belanda / VOC)
|
1898 – 1899
|
19.
|
Sultan Ibrahim Chaliluddin
(Adjie Medje)
|
1899 – 1908
|
Sumber:
Silsilah Raja/Sultan Pasir disusun Adjie Benni, Keturunan Sultan Pasir,
2012.
Untuk menjalin "persaudaraan" sekaligus perkawinan
politik", maka Adji Pati dikawinkan dengan Adji Tukul (Ratu Intan II)
bergelar ratu Agung binti Aji jawa, penguasa Kerajaan Bangkalaan, Sampanahan,
Cantung, dan Manunggal/Buntar Laut (1825-1841).
Perlu diketahui bahwa Sultan Sulaiman II Alamsyah (Adjie Panji) yang
memerintah Kerajaan Pasir tahun 1799-1811, di kemudian hari “menganeksasi”
Kerajaan Bangkalaan, Sampanahan, Cantung, dan Manunggal/Buntar Laut pada tahun
1820-1825. Daerah yang dianeksasi ini kemudian direbut kembali oleh Aji Jawa,
Raja Cantung (1825-1841).[5]
Dianalisa dari sumber kolonial, seperti tulisan Schwaner,
menyebut bahwa Aji Pati (Pangeran Agung) bin Sultan Sulaiman dari Pasir
(memerintah pada tahun 1845-1846) sebagai Raja Bangkalaan, Manunggul dan
Cengal. Aji Pati adalah suami dari Aji Tukul. Aji Tukul (Ratu Intan II/Ratu
Agung) binti Aji Jawi (1845).[6] Selain
sumber-sumber tertulis masa kolonial, dalam peta terbitan beberapa Negara
Eropa, seperti Inggris dan Belanda juga mencantumkan nama Adjipati (tertulis di
peta: “Adjipatti”). Seperti dalam peta
berjudul Borneo, [7] koleksi David Rumsey Historical Map
Collection, Pelukis peta adalah Philippe Vandermaelen, tahun 1827. Penulisan
nama daerah atau wilayah kemungkinan karena tokoh tersebut terkenal dan
“penguasa” di daerah tersebut. Dalam peta tidak dituliskan nama Bangkalaan,
seperti pada beberapa peta versi lainnya yang diterbitkan dalam kurun waktu
yang sama. Adapun gambar petanya sebagai
berikut.
Peta 1. Nama Ajipati Yang Tertulis Dalam Peta Borneo Tahun 1827
Sumber: Diolah dari peta Borneo, koleksi
David Rumsey Historical Map Collection, Pelukis peta adalah Philippe
Vandermaelen, tahun 1827. Peta dipublikasikan oleh ph. Vandermaelen Bruxelles,
tipe peta: peta atlas, peta asli berukuran 47 cm x 57 cm dengan skala 1 :
1.641.836 dan berdasarkan pada garis meridian Paris.
Selain itu C.A.L.M. Schwaner, dalam tulisannya berjudul “Historische,
Geograpische en Statistieke Aanteekeningen Betreffende Tanah
Boemboe”, Tidjschrift Voor Indische Taal Land en Volkenkunde diterbutkan
di Batavia oleh Lange & Co, tahun 1853, juga
menuliskan nama kampung dengan nama Rumah Adji Pati. Selain Rumah Adji Pati,
Schwaner juga menuliskan kampung lain di wilayah Bangkalaan, yakni Sungai
Bangkalaan dan Karangan Katatan. Jumlah penduduk di wilayah ini hanya berkisar
antara 160-240 an orang. Penulisan nama “Rumah Adji Pati “
kemungkinan karena ketokohan Adji Pati sebagai penguasa di daerah tersebut dan
menjalin hubungan baik dengan pemerintah Hindia Belanda saat itu. [8] Demikian juga dengan
Fokkens, A. J. Spaan, P. A. van Lith yang menyebutkan dalam tulisannya yakni
nama wilayah yang penting di pesisir tenggara Kalimantan yakni kampung “Adji
Pati” dan “Bantilan”.
[9]
Nama “Adjipati” juga tertulis
dalam peta berjudul Kaart van Nederlandsh
Indie, Peta asli dilukis oleh H. Ph. Th. Witkamp ini, diterbitkan di
Amsterdam, Belanda oleh J. H. De Bussy, pada tahun 1893.[10]
Perbedaannya dengan peta sebelumnya hanyalah dari segi penulisan nama, nama
“Adjipatti” berubah menjadi “Adjipati”. Berdasarkan penulisan dalam peta ini,
dapat dianalisa bahwa hal ini menunjukkan keberadaan tokoh Adji Pati sebagai
penguasa di wilayah Bangkalaan, walaupun sudah meninggal di kurun waktu
tersebut tetapi tetap dikenang sebagai penguasa. Peta sumber tersebut sebagai
berikut.
Peta 2. Nama Ajipati Dalam Kaart van Nederlandsh Indie Tahun 1893
Sumber: Diadaptasi dari Kaart van Nederlandsh Indie,. Peta asli
dilukis oleh H. Ph. Th. Witkamp, dengan skala 1: 5.000.000. Diterbitkan di
Amsterdam oleh J.H.De Bussy, tahun 1893.
Sama dengan peta lainnya yang terbit delapan tahun kemudian, yang
berjudul Kaart van het Eiland
Borneo/samengesteld onder leiding van Dr. A.W. Nieuwenhuis. Peta ini
dicetak dan dipublikasikan di Leiden, oleh E. J. Brill, tahun 1902. Dalam
peta ini juga menuliskan nama “Adjipatti”, bukan “Adjipati”. Tetapi terlepas
dari perbedaan ejaan penulisan nama ini, menunjukkan bahwa nama Adji Pati
(Pangeran Agung), walaupun sudah meninggal tahun 1848 tetapi tetap terkenal
hingga dekade tahun 1900 an. [11]
Peta 3. Nama Ajipati Yang Tertulis Dalam
Peta Borneo Tahun 1902
Sumber: Diolah dari Kaart
van het Eiland Borneo/samengesteld onder leiding van Dr. A.W. Nieuwenhuis.
Dicetak dan dipublikasikan di Leiden, oleh E. J. Brill, tahun 1902. Peta asli
berskala 1 : 2.000.000 dengan ukuran 75 cm x 65 cm.
Secara kronologis, keberadaan Adji Pati Pangeran Agung sebagai
penguasa di pesisir tenggara Kalimantan tidak terlepas dari keberadaan Kerajaan
Tanah Bumbu yang kemudian “terpecah” menjadi kerajaan kecil seperti, Pagatan,
Kusan, Cantung, Bangkalaan, Sampanahan, Cengal dan Manunggal (Buntar Laut). Dari
wilayah Bangkalaan, Trah Adji Pati, akhirnya bergeser ke wilayah Pagatan. Hal
ini dipertegas dengan “perkawinan politik” Keturunan Adji Pati Pangeran Agung,
Pangeran Muda Aribillah yang mengawini Arung Ratu Daeng Mangkau (putri dari
Arung Pallewange), Raja Pagatan. Daeng Mangkau menjadi Raja, setelah pamannya
Arung Abdul Djabbar La Makkaraw tidak mempunyai keturunan. Berdasarkan aturan
turun temurun dalam maka Arung Abdul
Djabbar La Makkaraw digantikan keponakannya, Arung Ratu Daeng Mangkau,
dinobatkan 12 November 1875.
Pemerintahan Ratu Daeng Mangkau sebagai Raja Pagatan kelima
berlangsung dari tahun 1875-1883. Pada masa pemerintahan Ratu Daeng Mangkau
didampingi suaminya Pangeran Muda Aribillah. Dari perkawi-nan ini lahir
keturunan raja Pagatan berikutnya yakni Andi Tangkung dan Andi Sallo (Arung
Abdul Rahim). Pada masa pemerintahan Ratu Daeng Mangkau, pemerintah Hindia
Belanda mengadakan perjanjian dengan penguasa Pagatan ini, penanda-tanganan
kontrak politik (Politiek Contract)
dengan pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 13 November 1875. [12]
Ratu Daeng Mangkau menurut anggapan pemerintah kolonial Belanda
adalah seorang putri yang arif, bijaksana dalam memerintah. Adil dalam
menjatuhkan vonis dan berani berhadapan dengan wakil pemerintah yang
mempersoalkan masalah berkenaan dengan politik. Sewaktu suaminya Sultan Muda
Aribillah ditangkap karena dituduh bersekongkol dengan “berandal berandal”
Tanah Bumbu dan diinternir ke Betawi, maka Ratu Daeng Mangkau mempersiapkan
perempuan-perempuan sebagai anak perahu dan bersama mereka menyeberangi Selat
Laut ke Kotabaru. Dari Kotabaru lalu ke Banjarmasin untuk mengunjungi Residen.
Dari Banjarmasin, baginda menyamar sebagai perempuan biasa dan turut berangkat
bersama suaminya ke Betawi. Akan tetapi penyamarannya diketahui, bahwa beliau
seorang ratu Kerajaan Pagatan, maka dibebaskan dari kesalahannya dan kembali ke
Pagatan.[13]
Penanda-tanganan kontrak politik (Politiek Contract) dengan pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 13
November 1875 oleh Ratu Daeng Mangkau, pada bagian pertama menjelaskan tentang
penegasan kembali dan dukungan dari pemerintah Hindia Belanda terhadap
pengangkatan Ratu Daeng Mangkau sebagai Raja Pagatan menggan-tikan Arung Abdul
Djabbar. Kemudian bagian kedua, pernyataan tentang daerah Pagatan dan Kusan
yang menjadi wilayah kekuasaan Ratu Daeng Mangkau sesuai dengan perjanjian
sebelumnya (perjanjian dengan Arung Abdul Karim tahun 1838). Sementara pada
bagian ketiga menerangkan tentang pengangkatan raja atau pengganti Ratu Daeng
Mangkau selanjutnya harus dengan sepengetahuan Pemerintah Hindia Belanda.
Kemudian dalam perjanjian tersebut juga dijelaskan bahwa perdagangan antar
pulau diperbolehkan asal membayar pas tahunan dan tidak mengganggu lalu lintas
pelayaran dan perdagangan pemerin-tah Hindia Belanda. Dalam hal pengelolaan
sumber daya alam, pihak Kerajaan Pagatan tidak boleh memberikan konsesi dalam
bidang pertambangan dan pertanian. Kemudian Pemerintah Hindia Belanda akan
mengenakan pajak, belastings dan
pungutan lainnya yang berlaku di seluruh wilayah Pagatan dan Kusan.[14]
Sebagai perbandingan, berikut “Silsilah Raja Raja Tanah Bumbu”,
yang disusun Hendri Nindyanto yang memuat silsilah Aji Pati Pangeran Agung dan
istrinya Ratu Intan II, serta keturunannya.
Gambar 2. Silsilah
Ajipati Pangeran Agung, Diolah dari Silsilah Versi H. Hendri Nindyanto, SH,
Keturunan ke-4 Adji Darma/ Pangeran Kusuma-negara Bin Aji Madura, Raja Cantung
& Buntar Laut, Diolah di Jakarta 10 Februari 2013
Dalam perkembangannya sampai tahun 1903, wilayah Bangka-laan yang
pernah diperintah oleh Aji Pati Pangeran Agung, secara politis berada di bawah
kedaulatan Kerajaan Banjar (kerajaan vazal). Kedudukan Kesultanan ini hanya
memiliki hak otonomi pengaturan pemerintahan ke dalam, sebagaimana juga kesultanan
kecil lainnya yakni Kusan, Batulicin dan Cantung, Sampanahan, Bangkalaan,
Manunggal, Cengal, Sebamban dan Pulau Laut. Posisi Kerajaan Banjar merupakan
pelindung terhadap Kerajaan kecil lainnya yang menjadi vazalnya.[15]
[1]
Wawancara Antung Saini, Penjaga Makam Pangeran Agung di Desa Bangkalaan Melayu,
Kecamatan Kelumpang Hulu, Kabupaten kotabaru, Kamis, 16 Oktober 2014.
[2] Wawancara dengan Hendri
Nindyanto, keturunan ke-4 dari Pangeran Koesoemanegara/Adji Darma Bin Adji
Madoera, via telepon, Jumat 31 Oktober 2014.; Wawancara dengan Andi Ida Kesuma,
keturunan raja raja Batulicin, Pagatan dan Cantung, Jumat 31 Oktober 2014.
Silsilah yang disusun Hendri Nindyanto secara lengkap dapat dilihat di halaman
lampiran.
[3]
Wawancara Antung Saini, Penjaga Makam Pangeran Agung di Desa Bangkalaan Melayu,
Kecamatan Kelumpang Hulu, Kabupaten kotabaru, Kamis, 16 Oktober 2014. Foto silsilah koleksi Antung saini
secara lengkap dapat dilihat di halaman lampiran.
[4] Silsilah Kerajaan Paser, yang
disusun keturunan raja Pasir, Pangeran Adjie Benni Syarief Fiermansyah
Chaliluddin.
[5] Wawancara dengan Hendri
Nindyanto, keturunan ke-4 dari Pangeran Koesoemanegara/Adji Darma Bin Adji
Madoera, via telepon, Jumat 31 Oktober 2014.; Lihat juga “Silsilah Raja Raja
Tanah Bumbu” yang disusun Hendri Nindyanto secara lengkap terdapat di hal. lampiran.
[7] Peta Borneo, koleksi David Rumsey Historical
Map Collection, Pelukis peta adalah Philippe Vandermaelen, tahun 1827. Peta
dipublikasikan oleh ph. Vandermaelen Bruxelles, tipe peta: peta atlas, peta
asli berukuran 47 cm x 57 cm dengan skala 1 : 1.641.836 dan berdasarkan pada
garis meridian Paris.
[9] F. Fokkens, A. J. Spaan, P. A.
van Lith, “Encyclopaaedie van Nederlandsch-Indie”, met Medewerking van Verschillende Ambtenaren Geleerden en Officieren
Samengesteld, Volume 4, M. Nijhoff, hlm. 269.
[10] Untuk lebih jelasnya, lihat Kaart van Nederlandsh Indie,. Peta asli dilukis oleh H. Ph. Th. Witkamp, dengan
skala 1: 5.000.000. Diterbitkan di Amsterdam oleh J.H.De Bussy, tahun 1893.
[11] Kaart van het Eiland
Borneo/samengesteld onder leiding van Dr. A.W. Nieuwenhuis. Dicetak dan
dipublikasikan di Leiden, oleh E. J. Brill, tahun 1902. Peta asli berskala 1 :
2.000.000 dengan ukuran 75 cm x 65 centimeter.
[12]AM
Noor, op.cit, hlm 65; ANRI,
“Overeenkomsten met inlandsche vorsten in den Oost-Indischen Archipel Pegatan
en Koesan”, dalam Bijlagen 101. 1-2.
J, Tweede Kamer, blz.I, bundel Borneo Zuid Ooster-afdeling (BZO), No. 122.
[13]AM
Noor, op.cit, hlm 65.
[14]ANRI,
“Overeenkomsten met inlandsche vorsten in den Oost-Indischen Archipel Pegatan
en Koesan”, dalam Bijlagen 101. 1-2.J, Tweede Kamer, blz.I, bundel Borneo Zuid Oosterafdeling (BZO), No. 122.
[15]
C. Nagtegaal, op.cit, hlm. 20.
No comments:
Post a Comment